Sunday, October 13, 2013

Lembar Ha Ha Ha, Hi Hi Hi, He He He

"Ini bukan sebuah dongeng. Ini realita tentang sebuah kebusukan yang mengakar dalam sebuah 'lembaran'..."


Lelah aku mendengar jeritan tiap harinya disini. Terus menjerit, terdengar tapi terabaikan. Mereka bertanya, terus bertanya sampai tak ada arti pada sebuah jawaban. "Mengapa kau menjerit?" dan yang lain bertanya, "Mengapa kau hanya terdiam?". Bukankah kita sama sama mengerti, tapi mengapa seakan tak ingin mengerti. Mungkin di dunia ini hanya 1 yang kita mengerti, berhala kecil yang selalu dipuja-puja dan diagung agungkan : "UANG"!

"Sumpal saja!" katanya, "Sumpal dengan penuh kekayaan dan mereka sendirinya akan terdiam". Tapi apakah itu jawaban yang kita inginkan? Tanpa sadar tertikam engkau, mengucur darahnya penuh dosa, oleh mahkota kekayaan yang diharapnya dapat membawa keagungan. Kau pikir dengannya kau bisa tersenyum? Coba saja kau lukiskan senyum kebangsatanmu itu pada kekayaan yang kau agung-agunkan dan tak lama setelahnya kau akan mati terkubur dalam lembaran-lembaran kertas sembahanmu itu.

Diatas, mereka tertawa. Dibawah, mereka menangis dengan tangan menadah. Mereka mengencingimu dengan harta, dan mereka yang dibawah? Tertawa. Bahkan kehinaan pun menjadi sebuah sanjungan, disambut dengan penuh kegembiraan. Tak sadarkah kita lelah?

Kita lelah untuk menjadi kaya dan kita lebih lelah untuk menjadi tidak kaya. Sekarang kita tahu mengapa kita selalu buta, selalu bisu, dan selalu tuli. Ah, tak sepenuhnya kita salah, mungkin kita yang dibutakan, dibisukan, dan ditulikan atau mungkin juga kita yang mencari kebutaan, ketulian, dan kebisuan. Selama ini kita bicara dengan uang, yang kita lihat adalah uang, dan yang kita dengar hanya uang.

Ini realita, ketika lembaran lembaran yang kita sakralkan telah mengakar dalam kehidupan. Tak mau ungkap kemunafikan, tapi apakah hanya sebuah "lembaran-lembaran" tersebut alasan kita hidup? Seperti kembali ke masa dimana manusia menciptakan Tuhan, dan bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Lalu siapakah Tuhan? Apakah yang selalu kita sebut dengan "UANG"?

Monday, August 12, 2013

Menatapmu dalam Bisuku


"Kau tak perlu tau aku karena kau mungkin tak acuhkanku. Biarlah begitu, karena sewajarnya aku memang tak kau pedulikan. Biarlah aku meneduhkanmu saat kau menghujani dirimu karena beberapa alasan yang tak kau ucapkan,  Dan biarlah sejukku menjadi alasanmu untuk tersenyum. Tak kau balas pun aku tak mengapa karena aku tak butuh rasa. Aku hanya seonggok pilar kayu besar yang Tuhan bangun diatas tanah yang biasa ku sebut surga, surga kebohongan.."


Sekali aku pernah mengagumi sebuah keindahan. Keindahan yang aku pun tak harus mengucapkannya walau aku ingin. Terkadang aku ingin diciptakan tanpa kebisuan dan dengannya aku tak harus menulis melody indah untukmu yang harus kusampaikan kepada burung-burung untuk dinyanyikan. Cukup dengan bernyanyi dan berharap kau balas dengan senyuman. Aku tak mengerti ini apa, karena aku tak mengerti sebuah rasa.

Tak cukup aku menceritakanmu dalam rentetan kata-kata indah. Tak cukup juga bila indahmu hanya aku ceritakan lewat kebisuan, karena dalam kebisuan ini aku dan kamu tak saling mengerti. Perlukah dengannya aku harus mengatakan cinta? Dan saat aku bersamamu perlukah aku berjanji untuk selalu bersama? HAHAHA berapa banyak dusta yang kau tabur dalam setiap pengucapannya! Karena tak lama setelahnya pastilah kau menghujan.

Aku tak mengerti mengapa manusia selalu mengucap sebuah kebohongan. Dan mengapa mereka mau untuk menerima sebuah kehobongan. Mungkinkah rasa diciptakan untuk menerima kebohongan? dan cinta diciptakan untuk memperindah sebuah kebohongan? Entahlah, aku tak mengerti. Bahkan jika aku ingin, aku tak bisa. Biarlah aku tercipta seperti ini. Hanya ranting dan lembaran lembaran indah yang menghiasi setiap pucuknya.. tanpa adanya rasa... Ya, tanpa rasa..

Sudah lama bisu ini bertengger pada setiap sela sela ranting yang sekalinya menggugur lewat dedaunan pun mungkin kau tak akan peduli. Tapi biarlah begini, biarlahku selalu mengagumi keindahanmu tanpa harus mengucapnya. Karena aku takut mengucap kebohongan diatas keindahanmu.

Ini cerita tentang kebisuanku. Silahkan kau manusia menertawankanku tapi tak perlu kau mengasihaniku. Kasihanilah dirimu, sampai kapan akan kau lantunkan kebohongan dari mulutmu itu...

Friday, August 9, 2013

Aku, Kamu, dan Perasaan Kita


"Ada saat dimana kita saling menatap dan ada saat dimana kita meratap"


Pernah aku tak mengerti tentang perasaan yang seharusnya diungkapkan tapi memilih untuk bungkam dan bersembunyi dibalik bayang bayang keraguan. Perasaan yang seharusnya aku bisa nyanyikan dalam beberapa nada tapi hanya kutulis dalam lembaran kertas, kubuang dan kutulis lagi, lalu kubuang lagi dan kutulis lagi, begitu seturusnya sampai aku malas untuk menulisnya lagi.

"KAU ANGGAP PERASAAN INI SAMPAH!!!", suara jerit bisu yang membuatku berhenti untuk menulis, menulis sebuah rasa yang selama ini hanya coretan tak beraturan. Ya, ternyata aku tak menulis sebuah cerita tentang indahnya saat aku bersamamu. Tetapi yang kutulis hanyalah garis hampa yang tak berujung dan berputar putar, terus begitu seperti sebuah siklus. Kupikir aku telah menulis sebuah prolog dari cerita kita, tapi yang yang kudapati hanyalah aku yang bertanya pada diriku "Sampai kapan kau akan membohongiku?".

"MAAF..."

Aku memang bukan manusia. Aku hanyalah sisa sisa hina yang Tuhan ikhlaskan untuk hidup.  Ini bukan salahmu yang menginginkan pagi dan aku yang lebih memelih untuk singgah lebih lama pada malam. Ini hanya kita dan perasaan kita masing masing. Dan aku sadar, aku bukan terjebak padamu dan semua rasa yang kau beri. Tetapi aku terjebak dalam perasaanku sendiri.. 

Maafkan aku..

Thursday, August 8, 2013

Tentangmu dan Sore Hari Ini


"Ini tentangmu yang membekas pada sore hari...."


Sudah sering aku mendengar namamu pada celotehan angin sore. Ya, namamu yang dirindukan oleh daun-daun yang dengannya saling beradu saat kau bisikan pada angin sore. Tak heran mengapa selalu kurindu suasana sore yang mestinya menyisihkan senyuman pada lembaran kapas putih yang menjingga.

Harusnya ini sore yang kesekian kalinya membuatku merindu. Merindu padamu yang selalu membuatku jingga. Entahlah sore hari ini mengabu, tak lagi kutemukan nyanyian pepohonan berdaun hijau dan samudra biru langit beserta gumpalan kapas putihnya yang membentuk pareidolia wajahmu. Yang kulihat hanya kering, kering dedaunan yang dihembus angin entah akan dibawa kemana. Seperti rinduku ini, entah akan berbalaskan rindu olehmu atau hanyalah sekadar dedaunan kering itu, berhembus tak beraturan arah.


Tanpa tersedar, matahari sorepun mulai malu menatapku. Semakin malu ia menatap semakin tersadar aku dalam indahnya. Dan pikirku mungkin ini bukanlah rindu yang mereka selalu sebut. Ini hanya suasana, suasana indah yang akupun tak tau maknanya. Ya, mungkin ini bukan rindu. Dan bukan karena senjamu tak indah, hanya saja aku lebih memilih kesendirian. Saat dimana kebisingan terlalu malu untuk berucap dan mata terlalu malas untuk menatap. Hanya ada aku. Ya, hanya aku dan senyumku...

Selamat Hari Raya Aidul Fitri!

Saya, keluarga saya, dan teman teman saya yang tidak bisa saya sebutkan satu satu mengucapkan :

MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN!

ALLOHUMMA BAARIK LANAA FIIMAA ROZAQTANAA WA QINAA ADZAABAN NAAR... *Om nom nom nom nom*